Sabtu, 10 Januari 2015

Hakikat Kebaikan

“Berbuat baiklah tanpa harus ada alasan apa yang akan  engkau dapatkan setelahnya, tetapi engkau melakukannya karena memang engkau orang baik yang selalu  ingin berbuat baik”

@ust. Raden

Setiap kita selalu berusaha untuk menjadi pribadi yang baik, berbagai upaya dan usaha kita lakukan untuk menunjukkan kalau kita adalah orang baik dan mecintai kebaikan. Namun seringkali pula apa yang kita sangka-kan kebaikan itu tidak mendapat respon dari orang disekitar kita, bahkan tidak sedikit yang mencela dan menghinakannya. 

Apa yang salah??

Kebaikan adalah mutiara, ia adalah berlian dan emas murni, yang takkan berubah nilainya, substansinya dan seluruh keadaannya, walau ia diletakkan dalam tanah berlumpur sekalipun, karena kebaikan adalah kebenaran yang absolut, ada atau tidak ada campur tangan manusia di dalam melakukannya.

Yang menjadi titik tolak adalah kita manusia sering mengharapkan “pantulan” dari kebaikan yang kita lakukan, sehingga ketika kita melihat wajah kita dicermin kehidupan, lalu kita terkagetkan, kenapa wajah kita tak seperti yang kita harapkan, kenapa wajah kita menakutkan, lalu kita mulai gelisah.

Ada istilah  “ wajah rusak cermin dibelah”, sesungguhnya apa yang rusak bukanlah sesuatu yang ada diluar sana, tetapi niat kitalah yang rusak. Ketika kita melakukan kebaikan, kita mengharapkan begitu banyak pujian dari mahluk, sadar atau tidak kita menunggu hal tersebut, sehingga ketika hal itu kita tidak dapatkan kita akan mengatakan “ air susu dibalas air tuba”.

Sikap dan sifat yang sedemikian itu tidak akan berlaku bagi orang yang memahami hakikat kebaikan, karena menjadi pribadi yang baik bukanlah karena penilaian manusia, tetapi oleh sang pemberi kesempatan kita dalam berbuat baik itu sendiri, Allah SWT.

Jika nilai kebaikan diukur dari pendapat manusia, maka si perampok yang membagi hasil kejahatannya secara adil kepada anak buahnya, pastilah tergolong orang yang berbuat baik. Dan akan banyak opini opini kebaikan yang bisa di creat oleh manusia untuk mendapatkan stempel kebaikan.

Itu kenapa ketika Rosulullah SAW ditanya tentang hakikat Kebaikan “ Ihsan”  Rosulullah SAW menjawab “ Engkau beribadah seolah melihat Allah atau engkau merasa diawasi oleh-Nya”

Jelas bahwa kebaikan adalah satu sikap dan nilai kehidupan yang bermuara dari “ma’rifat akan Allah SWT, bukan dari penilaian manusia, karena boleh jadi apa yang kita lakukan  berupa amal yang salih atau tindakan kebajikan, akan dilihat oleh orang lain sebagai sebuah hal yang merugikan kehidupan mereka.

Kebaikan adalah satu sikap dimana kita lakukan karena Allah, bersama Allah dan untuk Allah. Tak bangga akan pujian dan tak lekang karena hinaan, karena kebaikan adalah kebaikan, dan takkan berubah karena subjektifitas pandangan manusia, hanya untuk Allah.

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ  وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ

(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
(Q.S. Ali Imron : 134)

Rabu, 07 Januari 2015

Distorsi Cinta

Manusia merupakan mahluk yang lahir dari cinta, maka ketika seorang bayi terlahir dari rahim – itu juga mengapa media terlahirnya manusia disebut dengan rahiim ( kasing sayang), kita menyebutnya buah cinta, sebuah artikulasi alami dan bentuk kejujuran manusia.

Mengapa seorang  ibu rela mengorbankan nyawanya saat melahirkan anaknya? Ini juga bentuk nyata dari sebuah cinta, bahkan tak habis sampai disitu, pengorbanan berlanjut dengan hilangnya jam istirahat , membuang kantuk, menyingkirkan segala lelah, karena ia haru menjaga “buah cinta’ yang saat ini mewujud menjadi seorang anak. Walau mungkin sebagian orang tidak melihat peran ayah, namun sesungguhnya iapun sama besarnya dalam berkorban, bayi mungil itu menjadi stimulasi dan motivator yang menggerakkan adrenalinnya untuk mencari rezeki, agar semua kebutuhan anaknya tak kurang bahkan ia berusaha untuk mencari lebih, alasannya?? Karena ia ingin anaknya tumbuh dan berkembang dalam kecukupan.

Seiring waktu, buah cinta ini menjadi manusia yang sempurna dan mandiri. Ia tak lagi harus dimandikan, disuapi, dituntun berjalan, atau mendapatkan bantuan dari ibu dan ayahnya. ia bisa berlari bahkan pergi dengan kemauannya sendiri. Lalu berhentikah cinta sampai disini?

Energi cinta itu terus mengalir, usapan, belaian, kerinduan bahkan keinginan dari cinta ayah dan bunda terejawantahkan dalam do’a dan harapan, ia ingin melihat anak anaknya bahagia, gembira dan sukses, bahkan tidak sedikit mereka rela menjadi miskin, berhutang dan mengadu nyawa agar anaknya bisa sekolah ditempat yang terbaik, mendapatkan pekerjaan yang terbaik dan memiliki kehidupan yang terbaik. Orangtua menyingkirkan mimpi mimpi mereka, dan mengalirkan semua cita cita mereka hanya untuk KEBAHAGIAN SANG ANAK.

Seluruh waktu dan cintanya telah dihabiskan untuk “ buah cinta” yang kini telah menjadi ‘orang’, pejabat, pengusaha, atau apapun. Buah hati itu kini telah memiliki istri, suami dan keluarga sendiri. Namun ternyata, cinta mereka tak juga berhenti, ditengah rentahnya usia, rapuhnya tulang, lelahnya tenaga, mereka menyediakan diri untuk mengasuh cucu cucu yang mereka sayangi melebih sayangnya mereka terhadap diri mereka sendiri. Tak pelak, walau terlihat seperti seorang pembantu, penjaga bayi atau sebutan lainnya, mereka menapik semua label itu, karena bagi mereka inilah CINTA yang harus direfleksikan dalam kenyataan sejati.

Namun sayangnya..........

Buah cinta tak memahami esensi cinta dari mereka para pelaku cinta, sehingga mengabaikan nilai nilai ‘pembalasan’ – walau mereka takkan pernah berfikiri untuk mencari balasan atas cinta yang telah mereka berikan -, namun sebagian anak anak tak pernah mengerti cara terbaik dalam membahagian mereka. Bahkan terlihat dalam kenyataan, sebagian anak laki laki menyepelakan cinta abadi itu atas cinta cinta yang baru bergabung di hatinya, ia lebih rela untuk melukai hati ibunya daripada terlihat tegas terhadap istrinya, walau tidak semuanya.

Distorsi cinta, itulah yang terjadi, kita tak pernah hadir untuk mereka, tak pernah ada saat mereka lelah, tak mampu membersihkan keringat yang menetes diwajahnya, bahkan sekedar bersama mereka meminum teh atau kopi untuk membuat mereka menjadi bahagia dan merasakan bahwa kitapun ada seperti mereka dulu ada untuk kita.

Mungkin, mereka tak pernah terfikir untuk sakit hati, atau merasa luka atas sikap kita, mereka mendamaikan hati mereka dengan mengatakan, “anakku memang hebat,  sukses dan memiliki kegiatan yang banyak, dan merekapun tak menuntut sesuatu yang seharusnya mereka dapatkan dari kita. Tapi ketahuilah, ada yang marah atas semua sikap ‘acuh’ kita, sikap tak peduli kita, sikap tak mau taunya kita, 

Dialah Allah yang Maha Cinta. Kenapa Allah menjadi murka? Karena kita telah melukai cinta yang ia turunkan melalui tangan kedua orangtua kita, hakikatnya selama ini orang tua kita hanya representatif dari cintanya Allah SWT, dan kita sangat tidak pandai berterima kasih atas cinta Allah. Itu kenapa Rosulullah SAW menyebutkan “ lam yasykur linnas lam yaskur lillah” siapa yang tak bersyukur kepada manusia, sesungguhnya ia sedang tidak bersyukur kepada Allah SWT.

Rasa syukur kita menjadi satu keniscayaan untuk menggapai suksesi kehidupan, karena pribadi yang bersyukur sama dengan pribadi yang sangat mengerti hakikat cinta ILAHI. Maka cara yang palin efektif untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat cinta-Nya, adalah membahagian manusia yang telah menjadi alat TUHAN dalam mewujudkan cinta-Nya kepada kita.

Wallahu a’lam  

Raden Ahmad Affandi Azmatkhan