Selasa, 23 Desember 2014

DUA QUTUB MANUSIA

Pengembaraan akal melampaui dimensi ruang dan waktu, meski jasad belum menjajak langit namun akal telah menembusnya, bahkan saat peristiwa belum terjadi akal telah menganalisanya. Demikian hebat Allah jadikan akal. Maka tepatlah saat Rasulullah saw mengatakan sesungguhnya manusia adalah "Hayawanunatiq" atau hewan yang berakal.

Pembeda kita dengan mahluk yang lain adalah akal. Begitu potensi akal kita lumpuh maka derajat kita sejajar dengan binatang ternak, bahkan lebih hina dari itu.

sebagai manusia, kita dituntut untuk mengaktifasi akal kita dengan sebaik mungkin, karena akal itulah yang akan membawa manusia menjadi pengelola yang baik atas alam semesta.

Nabiallah Ibrahim as, dalam upayanya mencari titik kebenaran pun menggunakan akal untuk menganalisa nilai kebenaran, saat akalnya merealis instrumen ilahiah pada alam semesta iapun mendapatkan jawabannya.

Namun akal sering dibenturkan Tuhan pada realita maya, sesuatu yang majaz, sehingga akalpun kehilangan kemampuan motorik analisisnya, hal ini kita dapat fahami saat Nabiallah Musa as melampah dalam kembaranya bersama Nabiallah Khidir as. Ia tak mampu marasionalisasikan segala tindakan  Khidir. bahkan cenderung menyalahkan hal tersebut. Ternyata kepiawaian berfikir kita tak pernah mampu membuka tabir ghaib lauhil mahfudz.

Banyak hal yang harus kita gali dan galakan pada diri kita untuk menemukan sejatinya kehidupan, kekuatan akal dalam mencari nilai kebenaran seperti Ibrahim as, dan kepasrahan total seperti apa yang di minta khidir as. Dua kekuatan ini hadir dalam satu tempat yang bernama manusia. Ketika kedua hal itu teraktifasi maka sinyal yang telah terpancar dari Nur Allah SWT akan dapat kita tangkap, hal ini disinyalir oleh Rasulullah saw dalam sabda wahyunya : "Ittaqu bifirosatil mu'minin, fainnahu yanzhuru binurillah" takutlah kalian dengan fisarat ( potensi akal & kepasrahan)nya orang beriman, karena mereka melihat dengan cahaya Allah SWT. Dalam terminologi tasawuf hal ini dinamai kasyaf.

Akan halnya keadaan bangsa dan negara kita Indonesia, harapan itu terus mengalir di hati setiap elemen masyarakat, meski dalam kancah mukasyafah belum mampu menjawab siapakah satria piningit, imam mahdi, ratu adil atau pemimpin yang adil, barangkali mereka akan muncul tidak dalam idiom-idiom yang diramalkan, karena taqdir berlaku tanpa analisa dan pertimbangan. lihatlah merapi, mentawai, warior, banjir atau apapun...mampukah sederetan profesor menganalisanya??
sebab baru dimunculkan setelah semuanya terjadi? analisa dipakai untuk menganulir titel yang sudah kepalang di dapat.

Analisa kaum intelektual saat kejadian Aceh, mampukah mencegah Tsunami di mentawai?? tidak bukan?? Ranah ini bukan ranah akal, tapi ranah ketuhanan. untuk itu penyelesaian semua masalah yang ada tak mungkin mampu kita petakan dengan akal. kita harus duduk manis seperti permintaan Nabi Khidir kepada Musa, dan biarkan nanti Allah yang menjelaskannya. Karena kita bukan Musa yang layak mendapatkan penjelasan dari semua kejadian dari Khidir??? jadi..Ya tunggu sampai Allah hadirkan (khidir) dalam majaz-majaz yang berbeda, saat itulah kita akan berkata " Robbana Maa Kholaqta Hadza Bathilan......""

semoga celoteh tak berniat ini ada muatan makna, kalaupun tidak ya namanya nulis tanpa disertasi, apalagi komisi....begini dah jadinya....

salam hangat, salam rindu, salam damai.
Bumi Etam, Mahakam Damai.

Raden Ahmad Affandi Azmatkhan

MENJADI SEMPURNA

Sebelum lebih jauh kita membahas tentang ‘ Menjadi Sempurna’  ada baiknya kita memahami dulu tentang makna kesempurnaan. Allah adalah dzat yang MAHA SEMPURNA, sehingga kemahaannya tak dapat didefenisikan dengan sudut pandang apapun, Ia menyatakan ketakterhinggaan diri-Nya dengan kalimat, “wa lam yakun lahu kufuan ahad” tak ada satupun yang setara dengan-Nya. (Q.S. Al-Ikhlas : 4). Membaca ayat ini ingatan kita melambung pada peristiwa pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Nabiallah Ibrahim as. Sebagai seorang pemuda yang cerdas, Nabiallah Ibrahim as, tidak mengikuti kebiasaan jahiliyah yang dilakukan kaumnya, menyembah berhala.

Naluri dan kecerdasan akalnya menolak perilaku bodoh – membuat patung yang dianggap Tuhan lalu menyembahnya . Ia terus melakukan eksplorasi pada semesta, ia mencari sosok yang begitu agung dan besar dalam defenisi akalnya hingga ia menyadari ada satu benda yang cahayanya menyelimuti bumi,yakni MATAHARI.  Begitu lama ia menikmati dan menganulirkan rasa untuk dapat menerima bahwa benda yang begitu terang ini adalah TUHANnya, namun seiring waktu, mataharipun mengikuti rotasi taqdirnya, ia ditelan oleh malam, sirna tanpa jejak dan bekas.

Ibrahim tersentak, iapun tersadarkan bahwa ini bukanlah sifat yang MAHA AGUNG, ia tak mungkin cacat, sementara matahari, menghilang begitu saja.  Demikian juga saat ia melihat rembulan, bintang dan mayapada, semuanya tak abadi. Hingga hatinya tertambat pada pemahaman, pastilah ada satu kekuatan yang MAHA DAHSYAT yang mengatur semua ini. Dan saat itulah hidayah menyapanya.

Mengartikulasikan pencarian Nabiallah Ibrahim as yang akhirnya mendapatkan klimaks tafakur dengan penyadaran diri, kita dapat menemukan jawaban, bahwa mahluk yang begitu besar seperti matahari, bulan dan bintangpun tak sehebat dugaan kita, apatalah lagi diri kita, dari sudut ukur dan bentuk tak ada seujung kuku dibanding matahari. Seharusnya kita tersadar bahwa memang tidak akan pernah ada kesempurnaan pada mahluk.

Namun manusia memang begitu lemah, ia gampang berbolak balik, bahkan hatinya bisa mendidih lebih dari titik didihnya air yang menggelegak di perapian. Nafsunya selalu mencari kesempurnaan, sayangnya ia menambatkan pandangan itu serta berharap ia menjadi sosok yang sempurna atau paling tidak disikapi dengan sikap yang sempurna.

Adalah kehidupan rumah tangga sebagai contoh kecil dalam kehidupan ini. Seorang suami memimpikan istri yang ideal alias sempurna, sehingga ia mengadministratifkan daftar kesempurnaan itu, wanita harus cantik, baik, pandai, nurut, melayani, dsb. Di fihak yang lain, wanitapun mengkalkulasi kesempurnaan yang ingin ia dapat dari suaminya, laki-laki yang baik, pengertian, penuh kasih sayang, kaya, soleh, dan seabrek kriteria lainnya.

Padahal semakin kita mengharapkan kesempurnaan semakin kita menemukan banyak kekurangan, karena sunnatullahnya mahluk takkan ada yang sempurna. Apa sesungguhnya yang bisa menyempurnakannya? Mengembalikan pemahaman bahwa yang sempurna hanyalah Allah, sehingga hati kita lebih gampang menerima orisinilitas kekurangan pada pasangan hidup kita. Sikap menerima, memahami dan penyadaran akan ketidaksempurnaan itu akan melahirkan kesempurnaan sikap dan kebahagiaan pada bathin, namun sebaliknya jika kita menuntut kesempurnaan, yakinlah takkan pernah kita menuai hasil yang sempurna……….


So…..saling berbesar hati, melapangkan dada, menerima kekurangan, dan menyadarkan diri, bahwa kitapun takkan mampu berbuat yang sempurna……..

Raden Ahmad Affandi Azmatkhan