Pengembaraan akal melampaui dimensi
ruang dan waktu, meski jasad belum menjajak langit namun akal telah
menembusnya, bahkan saat peristiwa belum terjadi akal telah menganalisanya. Demikian
hebat Allah jadikan akal. Maka tepatlah saat Rasulullah saw mengatakan
sesungguhnya manusia adalah "Hayawanunatiq" atau hewan yang berakal.
Pembeda kita dengan mahluk yang lain
adalah akal. Begitu potensi akal kita lumpuh maka derajat kita sejajar dengan
binatang ternak, bahkan lebih hina dari itu.
sebagai manusia, kita dituntut untuk
mengaktifasi akal kita dengan sebaik mungkin, karena akal itulah yang akan
membawa manusia menjadi pengelola yang baik atas alam semesta.
Nabiallah Ibrahim as, dalam upayanya
mencari titik kebenaran pun menggunakan akal untuk menganalisa nilai kebenaran,
saat akalnya merealis instrumen ilahiah pada alam semesta iapun mendapatkan
jawabannya.
Namun akal sering dibenturkan Tuhan pada
realita maya, sesuatu yang majaz, sehingga akalpun kehilangan kemampuan motorik
analisisnya, hal ini kita dapat fahami saat Nabiallah Musa as melampah dalam
kembaranya bersama Nabiallah Khidir as. Ia tak mampu marasionalisasikan segala
tindakan Khidir. bahkan cenderung menyalahkan hal tersebut. Ternyata
kepiawaian berfikir kita tak pernah mampu membuka tabir ghaib lauhil mahfudz.
Banyak hal yang harus kita gali dan
galakan pada diri kita untuk menemukan sejatinya kehidupan, kekuatan akal dalam
mencari nilai kebenaran seperti Ibrahim as, dan kepasrahan total seperti apa
yang di minta khidir as. Dua kekuatan ini hadir dalam satu tempat yang bernama
manusia. Ketika kedua hal itu teraktifasi maka sinyal yang telah terpancar dari
Nur Allah SWT akan dapat kita tangkap, hal ini disinyalir oleh Rasulullah saw
dalam sabda wahyunya : "Ittaqu bifirosatil mu'minin, fainnahu yanzhuru
binurillah" takutlah kalian dengan fisarat ( potensi akal &
kepasrahan)nya orang beriman, karena mereka melihat dengan cahaya Allah SWT.
Dalam terminologi tasawuf hal ini dinamai kasyaf.
Akan halnya keadaan bangsa dan negara
kita Indonesia, harapan itu terus mengalir di hati setiap elemen masyarakat,
meski dalam kancah mukasyafah belum mampu menjawab siapakah satria piningit,
imam mahdi, ratu adil atau pemimpin yang adil, barangkali mereka akan muncul
tidak dalam idiom-idiom yang diramalkan, karena taqdir berlaku tanpa analisa
dan pertimbangan. lihatlah merapi, mentawai, warior, banjir atau
apapun...mampukah sederetan profesor menganalisanya??
sebab baru dimunculkan setelah semuanya
terjadi? analisa dipakai untuk menganulir titel yang sudah kepalang di dapat.
Analisa kaum intelektual saat kejadian
Aceh, mampukah mencegah Tsunami di mentawai?? tidak bukan?? Ranah ini bukan
ranah akal, tapi ranah ketuhanan. untuk itu penyelesaian semua masalah yang ada
tak mungkin mampu kita petakan dengan akal. kita harus duduk manis seperti
permintaan Nabi Khidir kepada Musa, dan biarkan nanti Allah yang
menjelaskannya. Karena kita bukan Musa yang layak mendapatkan penjelasan dari
semua kejadian dari Khidir??? jadi..Ya tunggu sampai Allah hadirkan (khidir)
dalam majaz-majaz yang berbeda, saat itulah kita akan berkata " Robbana
Maa Kholaqta Hadza Bathilan......""
semoga celoteh tak berniat ini ada
muatan makna, kalaupun tidak ya namanya nulis tanpa disertasi, apalagi
komisi....begini dah jadinya....
salam hangat, salam rindu, salam damai.
Bumi Etam, Mahakam Damai.
Raden Ahmad Affandi Azmatkhan
Raden Ahmad Affandi Azmatkhan