Jumat, 02 Januari 2015

Catatan Cinta sang kelana

Mengungkap emosi jiwa dan rasa dalam balutan kisah manusia. Asa akan kebahagiaan dalam sejatinya cinta memudar seiring waktu, namun api itu tak boleh padam, karena sekali harapan itu sirna maka binasalah semua cerita akan keindahan.
Kelamnya masalalu, menjadi satu kegelapan yang membelenggu kehidupan hari ini, namun matahari harapan menjadi mercusuar dalam menterjemahkan segala keinginan.
Satu keindahan akan sifat lupa yang Tuhan sematkan, agar segala keburukan itu ter-kafir-kan oleh cinta yang ada dihari ini. Namun luka itu tak sepenuhnya sembuh jika ia terus engkau hujam dengan belati cemburu. Karena sedikit lagi, karam badan diamuk oleh kemarahan.
Oh Tuan-ku...
Aku tak sedang berkeluh kesah akan keadaan, karena ini bukan hal yang baru, bahkan cerita ini sedia sebelum engkau tetapkan aku lahir kealam fana ini. Hitam kelamku, menjadi kanvas kehidupan, yang juga engkau torehkan warna lain disana.
Berjuta warna telah kau tabur dalam etape singkat perjalanan waktu, akankah engkau tutupi dengan seputih kapas warna akhirnya atau justru engkau kelambui kembali dengan cat hitam yang memekat. Meski aku berharap tak ada lagi hitam dan putih, namun engkaulah pemilik kanvas dan kuas itu, tuan!
Telisik hati ditengah bisikan gelisah, menusuk sanubari yang meradang dalam kisah cinta yang tak memudar, walau hanya dalam bayangan, namun ia seperti tontonan yang nyata dalam pandangan nestapa....entah kebodohanku atau justru kecerdasan itu yang meninakbobokan kesabaran dan keikhlasan menerima cerita dalam derita cinta yang memilukan.
Oh Tuan.....
Engkau pemilik raga, jiwa, rasa dan juga karsa, bahkan engkaulah yang melabuhkan cinta dalam mahligai indah insan yang merindui kebahagian sejati. Seperti merpati putih yang melambangkan cinta nan suci, tanpa noda walau dalam nadi dan darah yang terpendar diseluruh jasad mengandung penghianatan yang tertahan. Menghilang atau justru menggila tanpa rambu dan batasan...engkau yang tau akhirnya TUAN......
Oh Tuan...
Perih ini belum mengering, namun luka baru telah berdatangan, entah memang jasad ini terlahir untuk menanggung pedih, atau engkau jadikan ia sebagai kematian rasa dari sebuah derita. Seperti kain yang dihantam ribuan jarum, untuk kemudian engkau jadikan seonggok kain bercorak dalam jasad sang raja, atau justru celemek dapur yang menghiasi dada yang koki dalam menuang air di bejana. Entahlah Tuan, aku bisa apa.............
Oh Tuan-ku..
Engkau tau akan maksudku....bahwa sesungguhnya akupun ingin menjadi seperti apa yang engkau tanamkan dalam fikiranku, bahagia dalam cinta yang tak kenal istilah...
Oh Tuan-ku..
Karena engkau menyuruhku meminta, aku Cuma berharap satu saja, biarlah Cinta-Mu yang menjelma dalam sukmaku yang dirundung duka nestapa, agar airmata yang tertumpah bukan untuk cinta yang palsu belaka, namun karena kerinduan akan kerling indah mata-Mu Tuan......

Raden Ahmad Affandi Azmatkhan