Manusia merupakan mahluk yang
lahir dari cinta, maka ketika seorang bayi terlahir dari rahim – itu juga
mengapa media terlahirnya manusia disebut dengan rahiim ( kasing sayang), kita
menyebutnya buah cinta, sebuah artikulasi alami dan bentuk kejujuran manusia.
Mengapa seorang ibu rela mengorbankan nyawanya saat
melahirkan anaknya? Ini juga bentuk nyata dari sebuah cinta, bahkan tak habis
sampai disitu, pengorbanan berlanjut dengan hilangnya jam istirahat , membuang
kantuk, menyingkirkan segala lelah, karena ia haru menjaga “buah cinta’ yang
saat ini mewujud menjadi seorang anak. Walau mungkin sebagian orang tidak
melihat peran ayah, namun sesungguhnya iapun sama besarnya dalam berkorban, bayi
mungil itu menjadi stimulasi dan motivator yang menggerakkan adrenalinnya untuk
mencari rezeki, agar semua kebutuhan anaknya tak kurang bahkan ia berusaha
untuk mencari lebih, alasannya?? Karena ia ingin anaknya tumbuh dan berkembang
dalam kecukupan.
Seiring waktu, buah cinta ini
menjadi manusia yang sempurna dan mandiri. Ia tak lagi harus dimandikan,
disuapi, dituntun berjalan, atau mendapatkan bantuan dari ibu dan ayahnya. ia
bisa berlari bahkan pergi dengan kemauannya sendiri. Lalu berhentikah cinta
sampai disini?
Energi cinta itu terus mengalir,
usapan, belaian, kerinduan bahkan keinginan dari cinta ayah dan bunda
terejawantahkan dalam do’a dan harapan, ia ingin melihat anak anaknya bahagia,
gembira dan sukses, bahkan tidak sedikit mereka rela menjadi miskin, berhutang
dan mengadu nyawa agar anaknya bisa sekolah ditempat yang terbaik, mendapatkan
pekerjaan yang terbaik dan memiliki kehidupan yang terbaik. Orangtua menyingkirkan
mimpi mimpi mereka, dan mengalirkan semua cita cita mereka hanya untuk
KEBAHAGIAN SANG ANAK.
Seluruh waktu dan cintanya telah
dihabiskan untuk “ buah cinta” yang kini telah menjadi ‘orang’, pejabat,
pengusaha, atau apapun. Buah hati itu kini telah memiliki istri, suami dan
keluarga sendiri. Namun ternyata, cinta mereka tak juga berhenti, ditengah
rentahnya usia, rapuhnya tulang, lelahnya tenaga, mereka menyediakan diri untuk
mengasuh cucu cucu yang mereka sayangi melebih sayangnya mereka terhadap diri
mereka sendiri. Tak pelak, walau terlihat seperti seorang pembantu, penjaga
bayi atau sebutan lainnya, mereka menapik semua label itu, karena bagi mereka
inilah CINTA yang harus direfleksikan dalam kenyataan sejati.
Namun sayangnya..........
Buah cinta tak memahami esensi
cinta dari mereka para pelaku cinta, sehingga mengabaikan nilai nilai ‘pembalasan’
– walau mereka takkan pernah berfikiri untuk mencari balasan atas cinta yang
telah mereka berikan -, namun sebagian anak anak tak pernah mengerti cara
terbaik dalam membahagian mereka. Bahkan terlihat dalam kenyataan, sebagian
anak laki laki menyepelakan cinta abadi itu atas cinta cinta yang baru
bergabung di hatinya, ia lebih rela untuk melukai hati ibunya daripada terlihat
tegas terhadap istrinya, walau tidak semuanya.
Distorsi cinta, itulah yang
terjadi, kita tak pernah hadir untuk mereka, tak pernah ada saat mereka lelah,
tak mampu membersihkan keringat yang menetes diwajahnya, bahkan sekedar bersama
mereka meminum teh atau kopi untuk membuat mereka menjadi bahagia dan merasakan
bahwa kitapun ada seperti mereka dulu ada untuk kita.
Mungkin, mereka tak pernah
terfikir untuk sakit hati, atau merasa luka atas sikap kita, mereka mendamaikan
hati mereka dengan mengatakan, “anakku memang hebat, sukses dan memiliki kegiatan yang banyak, dan
merekapun tak menuntut sesuatu yang seharusnya mereka dapatkan dari kita. Tapi ketahuilah,
ada yang marah atas semua sikap ‘acuh’ kita, sikap tak peduli kita, sikap tak
mau taunya kita,
Dialah Allah yang Maha Cinta. Kenapa Allah menjadi murka? Karena
kita telah melukai cinta yang ia turunkan melalui tangan kedua orangtua kita,
hakikatnya selama ini orang tua kita hanya representatif dari cintanya Allah
SWT, dan kita sangat tidak pandai berterima kasih atas cinta Allah. Itu kenapa
Rosulullah SAW menyebutkan “ lam yasykur linnas lam yaskur lillah” siapa yang
tak bersyukur kepada manusia, sesungguhnya ia sedang tidak bersyukur kepada
Allah SWT.
Rasa syukur kita menjadi satu
keniscayaan untuk menggapai suksesi kehidupan, karena pribadi yang bersyukur
sama dengan pribadi yang sangat mengerti hakikat cinta ILAHI. Maka cara yang
palin efektif untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat cinta-Nya, adalah
membahagian manusia yang telah menjadi alat TUHAN dalam mewujudkan cinta-Nya
kepada kita.
Wallahu a’lam
Raden Ahmad Affandi Azmatkhan
Raden Ahmad Affandi Azmatkhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar